Hanoman Pecicilan

Hanoman Pecicilan

Kamis, 24 Oktober 2013

Lawan Kawan Lama



“L”KAWAN LAMA

            Siang ini di kantin sekolah salah satu SMA yang cukup bergengsi, seperti biasa aku melihat pemandangan yang tidak begitu mengasikan, sekumpulan siswa badung tengah beraksi memalak seorang siswa yang sering menjadi sasaran empuk itu. Roy, seorang siswa yang dari segi penampilan sih tidak begitu cupu atau kampungan, tapi entah kenapa Roy selalu menjadi sasaran empuk buat Ando, Danny, Wisnu, Gilang dan lainnya yang tergabung di genk siswa begundal itu. Aku hanya bisa menatap dari ujung kantin tidak bisa berbuat apa – apa, dengan badanku yang biasa aja malahan tergolong kecil ini aku gak bisa jadi sok pahlawan nolongin Roy, bukannya tolongin Roy nanti yang ada aku malah jadi sasaran mereka juga, aku hanya bisa membantu Roy setelah dia terlepas dari para preman SMA itu dengan mentraktirnya beberapa kali untuk makan siang, walau lebih sering dia menolak untuk aku traktir, dengan begitu aku dan Roy menjadi cukup dekat.

***

            8 tahun kemudian

***

            Bulan ini mulai dari media cetak sampai media masa, terutama dalam berita kriminal di penuhi dengan gambar sketsa wajah seorang buronan yang sangat sulit di tangkap oleh kepolisian, buronan ini bernama vicko, pria yang menjadi otak berbagai kejahatan besar, seperti merampok bank, bersama komplotannya, Vicko merampok dengan cara menghipnotis semua orang yang ada di bank tersebut sehingga sulit sekali untuk menangkapnya. Sebenarnya Vicko sudah berkali-kali tertangkap, namun dengan keahliannya menghipnotis dia selalu berhasil lolos sebelum dipenjara. Tak jarang Vicko hanya melakukan kejahatan kepada seseorang yang dia temui, teknik hipnotis yang terkenal darinya adalah menggunakan asap dari korek api kayu yang begitu apinya padam sang korban langsung akan menuruti perintah Vicko. Menakjubkan dan tidak masuk akal memang, tapi sudah banyak orang yang mengaku menjadi korban Vicko, uniknya lagi Vicko selalu melakukan kejahatannya itu di tempat yang ramai.

***

            Siang ini suhu di kotaku begitu panas, walau tadi pagi begitu cerah dan sejuk sehingga aku dan Ani teman kerjaku yang juga dia adalah teman SMAku dulu menyempatkan diri untuk berolahraga di salah satu joging track di kota ini. Sudah lama kita menjadi partner kerja yang kompak. Namun sudah hampir sepekan aku dan Ani di istirahatkan karena telah mengungkap kasus pembunuhan berantai yang tersangkanya adalah saudara dari sang gubernur, iya pekerjaanku dan Ani adalah pasukan khusus sebuah badan intelegent rahasia dari kepolisian, bahasa kerennya Secret Agent. Sepulang olahraga Ani mengajakku untuk melihat sebuah bangunan tua berarsitektur Hindu peninggalan zaman kolonial penjajah dulu yang berada di tengah kota namun harus sedikit masuk ke sebuah gang yang cukup sempit untuk dilalui mobil. Taksi yang aku dan Ani naiki  melaju dengan kecepatan wajar menuju bangunan tua itu, sedikit kewalahan sopir taksi itu mengendalikan mobilnya. Setelah kurang lebih 15 menit perjalanan aku dan Ani sampai di tempat tujuan, memang pada dasarnya cewek itu punya urat narsis jadi disana aku menjadi korban motoin Ani di tempat itu, setelah setengah jam aku melihat-lihat bangunan ini, lebih tepatnya aku motoin Ani di tempat ini kitapun memutuskan pulang, namun aku dan Ani baru sadar di daerah sini tidak ada taksi lewat, hanya ada angkot, itupun harus jalan sedikit ke depan komplek ini.
           
“Ni kita naik angkot aja yah pulangnya?” kataku pada Ani.

            “Iya, mau naik apa lagi” jawabnya sambil memperhatikan gadget yang depagangnya memperhatikan foto-foto hasil jepretanku tadi.

            Setelah jalan sedikit kita sampai di tempat pemberhentian angkot, tanganku sigap menyetop angkot, Ani? Dia masih sibuk sengan gadget-nya itu sambil sesekali senyum sendiri seperti orang gila. 5 menit di dalam angkot keheningan terjadi, Ani yang masih sibuk dengan gadgetnya hanya berbicara “Lucu gak?” sambil melihatkan fotonya dalam gadget kepadaku. Di dalam angkot hanya ada 4 penumpang, aku, Ani, seorang ibu – ibu dengan perhiasan sedikit mencolok di pojokan, dan seorang laki-laki umuran sekitar 29 tahunan duduk di depan ibu-ibu itu sambil memainkan korek api kayu. Belum lama angkot berjalan tak sengaja aku melihat si laki-laki itu menyalakan korek api dan mematikan apinya sehingga asap mengepul di hadapan ibu – ibu itu dan sontak ibu – ibu itu memberikan perhiasan gelangnya, aku langsung memperhatikan jeli wajah laki-laki itu, aku sedikit terkejut setelah melihat jeli wajahnya “Itu, itu Vicko si buronan ahli hipnotis itu!” Kataku dalam hati.

            “Yang ini lucu gak?” kata Ani lagi yang belum tahu kejadian apa yang aku lihat.

            “Gak!” kataku sambil dengan sigap menendang Vicko.

            Ani sudah mengenali kejadian ini, jika aku bertindak pasti ada masalah, tanpa pikir panjang Ani sigap membantuku yang terus sibuk menendangi dada Vicko ini sampai tubuhnya sedikit lemas dan dengan sigap aku mengambil tangannya dan memborgol tangannya, Ani pun tak kalah sigap dengan segera dia menutup kepala Vicko dengan kain penutup kepala yang biasa kami gunakan. Ibu – ibu hanya diam masih dipengaruhi efek hipnotis dari Vicko, angkotpun berhenti si sopir terkejut dengan  kejadian yang ada di angkotnya.

            “Bawa angkot ini ke kantor polisi!” teriakku kepada si sopir yang masih bengong. Si sopir manggut dan langsung membawa angkotnya ke kantor polisi. Tidak lupa aku melapor pada kepolisian kalau aku sedang menuju ke kantor polisi dengan membawa Vicko. Namun tiba - tiba.

            “Pak kok berhenti di tengah pasar gini sih?” tanya Ani serada membentak sopir angkot.

            “Nganu mbak ada yang…” belum selesai sopir itu menyelesaikan kalimatnya, 4 orang berseragam polisi masuk kedalam angkot mengambil Vicko.

            “Biar kita yang membawanya pak” kata salah satu orang polisi.

            Aku hanya terdiam keheranan, bagai mana bisa 4 polisi ini secepat ini tahu dalam angkot ini terdapat Vicko yang hendak aku bawa menuju kantor polisi dan ingin memindahkannya, membawa Vicko dengan mobil patroli. Tapi, tapi.

            “Gilang? Lo Ando kan? Wisnu? Danny?” 4 orang yang tidak asing untukku, mereka siswa badung di SMA dulu. “Bagaimana bisa begundal sekolah seperti mereka bisa menjadi polisi? Bukankah mereka juga pernah tertangkap menggunakan narkoba 2 tahun yang lalu?” kataku dalam hati.

            Tanpa basa – basi dan tidak menjawab pertanyaanku yang mengenali mereka, mereka langsung membawa Vicko keluar dari angkot, namun aku melihat kejanggalan berikutnya, tidak ada mobil patroli di sekitar situ. Aku pun turun dari angkot mengikuti rombongan polisi itu, Ani yang ingin mengikutiku, aku menolaknya.

            “Bawa ibu itu ke kantor polisi dengan angkot ini Ni” kataku kepada Ani. Dengan sigap Ani mengangguk mengikuti perintaku.

            Aku terus mengikuti 4 polisi yang wajahnya aku kenali tadi, tidak lama aku mengikuti, 2 orang berseragam polisi lagi datang mengganti membawa Vicko yang masih di borgol.

“Sebentar, postur badan Vicko tidak seperti itu, yang mereka bawa itu bukan Vicko!” kataku dalam hati, sontak aku melihat ke sekeliling dan aku melihat Vicko detemani Ando dan Gilang sedang  berjalan cepat kearah berlawanan dengan rombongan yang aku ikuti ini.

“Sial, mereka tau aku mengikutinya, akgh! Aku terkecoh!” sontak aku berlari mengejar Vicko yang kini sudah tidak lagi di borgol dan tidak menggunakan tutup kepala sehingga bisa leluasa berlari juga setelah mereka tau aku mengejarnya di tengah keramaian.

“Maling!” teriakku menunjuk Vicko, tujuanku supaya warga sekitar pasar itu membantu menangkap Vicko, dan spontan warga pun menangkap Vicko, stategi kampunganku berhasil juga, namun sayang, Ando dan Gilang berhasil lolos, setidaknya aku tidak akan memberikan Vicko lagi ke sembarang orang walau itu bersegaram polisi.

Setelah mendapatkan Vicko kembali dengan sigap aku mengikat tangannya dengan tambang plastik yang aku dapat dari warga pasar, serta sedikit lakban hitam untuk menutup mulutnya. Aku langsung membawa Vicko menuju kantor polisi, aku memanggil temanku di kepolisian yang aku kenal untuk menjemputku di depan pasar ini. Aku berjalan dengan penuh kewaspadaan membawa Vicko keluar dari pasar ini, belum ada 1 menit aku berjalan tiba – tiba saja “Buk!!” sebuah balok kayu menghantam punggungku, aku pun sontak langsung menendang orang yang memukulku, yang sudah pasti komplotan Vicko juga, Vicko berlari menuju sebuah lorong di pasar yang sepi, aku mengejarnya sambil menahan sakit di punggung, orang yang memukulku itu juga mengejarku yang mengejar Vicko.

“Mau kemana lagi Vicko? Itu jalan buntu!” kataku kepada Vicko yang terjebak di jalan buntu.

Tiba – tiba seseorang memukulku tadi dengan balok kayu, meninjuku dari belakang, aku langsung membalas meninju dan membanting orang itu. Betapa terkejutnya aku setelah melihat wajahnya. Seseorang yang tidak asing lagi untukku, wajah yang begitu aku kenali.

“R…R…Roy?” kataku heran sambil mundur 3 langkah. “Bagaimana bisa lo… sama Vicko?” tanyaku lagi pada Roy.

“Gue butuh uang” jawab Roy singkat sambil bangun.

“Tapi gak gini Roy! Cara lo salah!” bentak gue ke Roy.

“Gue gak peduli!” jawabnya lagi yang dilanjutkan berlari dan melakukan tendangan dengan melompat yang tepat mendarat di kepalaku. Roy berhasil membawa pergi Vicko, aku? Aku berhasil tergeletak sempurna selama 3 menit.

“Bro? gak apa – apa lo?” tanya teman polisi ku yang aku hubungi untuk menjemputku tadi. Aku sudah bisa berjalan walau sempoyongan setelah 3 menit tergeletak akibat tendangan Roy tadi. Aku hanya diam dan masuk ke mobil temanku yang di susul temanku masuk mobil juga dan segera dia membawaku ke kantor polisi.

“Lo gak mau ganti baju dulu? Baju lo kotor gitu, muka lo juga kotor sih, gak mau cuci muka dulu?” tanya temanku lagi membuka keheningan di mobil patroli itu, aku hanya diam menggelengkan kepala. “Ani udah di kantor, ibu yang sama dia tadi masih belum bisa dimintai keterangan, masih diem, masih dalam pengaruh hipnotis Vicko kayanya” lanjut temanku.

“Tom, semua anak buah Vicko yang gue temuin hari ini, teman SMA gue, salah satunya teman yang cukup dekat dengan gue dulu” kataku yang ahirnya membuka percakapan.

“Hah? Serius lo bro?” Jawabnya kaget sehingga mobil yang dikendarainya menjadi sedikit oleng.

“Iya, ini jejak sepatu teman dekat gue dulu nyeplak di muka kiri gue” kataku sambil memperhatikan wajahku di spion mobil.

“Stempel reunian yang bagus bro, hahaha” jawabnya ngasal mecoba menghiburku.

Aku hanya senyum menimpali candaan temanku itu, tak lama kita sampai di kantor polisi. Aku memasuki gedung yang sekilas terlihat tua ini,  aku melihat Ani yang sedang duduk termenung di ujung lorong ruangan ini, seketika dia terbangun dari duduknya menghampiriku.

“Kamu baik – baik aja kan?” tanyanya sambil memegang pipiku.

“Iya, tapi sayang Vicko gagal aku bawa ke sini” jawabku pelan.

“Yang penting kamu baik - baik aja, muka kamu kenapa ini?” tanya Ani lagi sambil memegang bekas jiplakan sepatu Roy tadi.

“Stempel reunian, istirahat di ruangan gue aja yuk bro” kata Tomi teman yang tadi menjemputku di depan pasar.

“Iya, Thanks yah Tom” jawabku pada Tomi sambil mengikutinya ke ruangan miliknya untuk istirahat. “Ani kamu mau kemana?” tanyaku kepada Ani yang malah berjalan ke depan kantor polisi.

“Ke depan sebentar, beli tisu basah buat kamu” kata Ani sambil berjalan menuju kedepan kantor ini.

“Sekalian beliin aku minum Ni” kataku kepada Ani. Ani mengangguk.

Ruangan Tomi cukup luas, namun Tomi harus berbagi dengan 4 rekan lainya di ruangan ini juga, namun di ruangan ini terdapat sova yang cukup nyaman untuk istirahat. Setelah Ani kembali ke ruangan ini dengan air mineral dan tisyu basah, aku menceritakan kejadian tadi kepada Ani sambil membersihkan jejak sepatu Roy di wajahku menggunakan tisu basah.

“Kamu yakin semua yang kamu ceritain itu Fakta?” tanya Ani kepadaku heran.

“Iya, yakin Ni” jawabku tak kalah heran.

“Kamu yakin, semua yang kamu ceritain itu nyata?” tanya Ani lagi.

“Nyata?” jawabku heran.

“Iya, kamu yakin itu nyata Al? yakin ini nyata Al? Al? Al!” tanya Ani agak membentak.

“Iya, ini…..”  belum aku menyelesaikan kalimatku itu aku terduduk melihat tembok biru dengan nafas tidak beraturan, aku mengelap wajahku, aku melihat selimut dan aku terduduk diatas kasur. “Ini tidak nyata” kataku pelan, aku mengusap mukaku lagi lalu bangun menuju kamar mandi.